orang tua bijak mendampingi anak tangguh, keluarga yang penuh dengan cinta kasih, sukses di rumah, sukses di kantor
keluarga yang penuh dengan cinta kasih, sukses di rumah, sukses di kantor
Jumat, 10 April 2015
Cinta yang Islami
"Ya Allah, ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa."
Banyak orang berbicara tentang masalah ini tapi tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan maknanya secara syari. Dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan tadi. Seakan-akan yang menghalangi untuk membahas masalah ini adalah salahnya pemahaman bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yang rendah, dengan perzinahan, dan perkataan yang keji. Dan hal in adalah salah. Tiga perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang memotivasi untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya.
Aku memandang pembicaraan ini yang terpenting adalah batasannya, penyimpangannya, kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam setiap hati manusia, dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan apa yang mereka maknai.
1. Cinta (Al-Hubb)
Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan hati pada yang dicintai, dan itu termasuk amalan hati, bukan amalan anggota badan/dhahir. Pernikahan itu tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali jika ada cinta dan kasih sayang di antara suami-isteri. Dan kuncinya kecintaan adalah pandangan. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, menganjurkan pada orang yang meminang untuk melihat pada yang dipinang agar sampai pada kata sepakat dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam bab Kedua.
Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i dari Mughirah bin Su’bah Radhiyallahu ‘anhu berkata:”Aku telah meminang seorang wanita”, lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku :’Apakah kamu telah melihatnya ?” Aku berkata :”Belum”, maka beliau bersabda : ‘Maka lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu pada akhimya akan lebih menambah kecocokan dan kasih sayang antara kalian berdua’
Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari orang-orang, lebih-lebih pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan masalah “cinta”, bahkan umumnya mereka mengira pembahasan cinta adalah perkara-perkara yang haram, karena itu mereka merasa menghadapi cinta itu dengan keyakinan dosa dan mereka mengira diri mereka bermaksiat, bahkan salah seorang di antara mereka memandang, bila hatinya condong pada seseorang berarti dia telah berbuat dosa.
Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali kerancuan-kerancuan dalam pemahaman mereka tentang “cinta” (dalam tanda kutip) dan apa-apa yang tumbuh dari cinta itu, dari hubungan antara laki-laki dan perempuan. Di mana mereka beranggapan bahwa cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya dia memahami cinta itu dari apa-apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak dan perempuan-perempuan rusak yang di antara mereka menegakkan hubungan yang tidak disyariatkan. Mereka saling duduk, bermalam, saling bercanda, saling menari, dan minum-minum, bahkan sampai mereka berzina di bawah semboyan cinta. Mereka mengira bahwa "cinta" tidak ada lain kecuali yang demikian itu. Padahal sebenarnya tidak begitu, tetapi justru sebaliknya.
Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada wanita dan kecenderungan wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari syahwat-syahwat yang telah Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta, Artinya Allah menjadikan di dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati laki-laki itu cenderung pada wanita, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,… “,
(Q.S Ali-Imran : 14)
Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita atau sebaliknya, maka tidak ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada keluarga. Namun, Allah Ta’ala tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau sebaliknya supaya menumbuhkan di antara keduanya hubungan yang diharamkan, tetapi untuk menegakkan hukum-hukum yang disyari’atkan dalam bersuami isteri, sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhuma berkata : telah bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam :
“Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai, seperti pernikahan ?"
Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan yang rusak atau keji, maka Allah telah menyuruh yang pertama kali agar menundukan pandangan, karena pandangan itu kuncinya hati, dan Allah telah haramkan semua sebab-sebab yang mengantarkan pada Fitnah, dan kekejian, seperti berduaan dengan orang yang bukan mahramya, bersenggolan, bersalaman, berciuman antara lelaki dan wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati. Maka bila hati telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk cinta pada syahwat ini, maka manusia mencintainya dengan cinta yang besar, dan sungguh telah tersebut dalam hadits bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Diberi rasa cinta padaku dari dunia kalian ; wanita dan wangi-wangian dan dijadikan penyejuk mataku dalam sholat?"
( HR Ahmad, Nasa’i, Hakim dan Baihaqi)
Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya. Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan.
Contohnya : apabila lelaki dan wanita saling pandang memandang atau berduaan atau duduk cerita panjang lebar, lalu cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya saling mencinta, maka kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya disiksanya, karena hal itu berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa untuk menguasai hatinya. Akan tetapi, keduanya diazab karena yang dia lakukan. Dan karena keduanya melakukan sebab yang menyampaikan pada "cinta", seperti telah kami sebutkan. Dan keduanya akan dimintai tanggungjawab dan akan disiksa juga dari setiap keharaman yang dia perbuat setelah itu.
Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya, maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan oleh sebagian ulama seperti Imam Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala, sebagaimana akan dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab ‘Rindu’. Dan dalam keadaan yang mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi semua sebab-sebab yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan mengantarkan pada bahaya-bahaya yang banyak, namun sangat sedikit mereka yang selamat.
2. Rindu (Al-’Isyq)
Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan ada rindu yang disertai dengan menjaga diri dan ada juga yang diikuti dengan kerendahan. Maka rindu tersebut bukanlah hal yang tercela dan keji secara mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga diri dan kesucian, dan kadang-kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan kehinaan.
Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan kami tentang cinta maka rindu juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang orang tidak mampu menguasainya. Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab yang diharamkan dan atas hasil-hasilnya yang haram. Adapun rindu yang disertai dengan menjaga diri padanya dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka padanya pahala, bahkan Ath-Thohawi menukil dalam kitab Haasyi’ah Marakil Falah dari Imam Suyuthi yang mengatakan bahwa termasuk dari golongan syuhada di akhirat ialah orang-orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap menjaga kehormatan diri dan disembunyikan dari orang-orang meskipun kerinduan itu timbul dari perkara yang haram sebagaimana pembahasan dalam masalah cinta.
Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang memendam kerinduan baik laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk mendapatkan apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena kerinduan tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat.
Hal ini tidak aneh jika difahami bahwa kesabaran orang ini adalah dalam kerinduan, bukan dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan orang yang rendah yang melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang yang sabar, menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada keterkaitan dengan yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota badannya sebab ini di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa menguasai maka dia bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan menyembunyikan kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapa pahala.
3. Cemburu (Al-Ghairah)
Cemburu ialah kebencian seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu ternasuk sifat yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki atau wanita.
Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan sangat marah ketika suaminya berniat kawin (lagi) dan ini fitrah padanya. Sebab perempuan tidak akan menerima madunya karena kecemburuannya pada suami, dia senang bila diutamakan, sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak mencintai suaminya, dia tidak akan peduli (lihat pada bab 1). Kita tekankan lagi di sini bahwa seorang wanita akan menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak hukum syar’i tentang bolehnya poligami. Penolakan wanita terhadap madunya adalah karena gejolak kecemburuan, adapun penolakan dan pengingkaran terhadap hukum syar’i, tidak akan terjadi kecuali karena kelalaian dan kesesatan.
Adapun wanita yang shalihah, dia akan menerima hukum-hukum syariat dengan tanpa ragu-ragu, dan dia yakin bahwa padanya ada semua kebaikan dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan terhadap suaminya serta ketidaksenangan terhadap madunya.
Kami katakan kepada wanita-wanita muslimah khususnya, bahwa ada bidadari yang jelita matanya yang Allah Ta’ala jadikan mereka untuk orang mukmin di sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh mengingkari adanya ‘bidadari’ ini untuk orang mukmin atau mengingkari hai-hal tersebut, karena dorongan cemburu.
Maka kami katakan padanya :
1. Dia tidak tahu apakah dia akan berada bersama suaminya di surga kelak atau tidak.
2. Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti yang ada di dunia.
3. Bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengkhususkan juga bagi wanita dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka ridlai, meski klta tidak mengetahui secara rinci.
4. Surqa merupakan tempat yang kenikmatannya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terbetik dalam hati manusia, seperti firman Allah Ta’ala :
“Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaltu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata scbagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan�?
(Q.S As-Sajdah : 17)
Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari bidadari-bidadari penyejuk mata sebagai balasan pada apa-apa yang mereka lakukan. Dan di sorga diperoleh kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin dan mukminat dari apa-apa yang mereka inginkan, dan juga didapatkan hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling ridho di antara keduanya sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya (suami-isteri) di dunia ini untuk beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan di sorga dengan penuh kenikmatan dan rahmat Allah Ta’ala yang sangat mulia lagi pemberi rahmat.
Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarganya dan kehormatannya, maka hal tersebut ‘dituntut dan wajib’ baginya karena termasuk kewajiban seorang laki-laki untuk cemburu pada kehormatannya dan kemuliaannya. Dan dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia pada isteri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau mereka "telanjang" dan membuka tabir di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.
Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di jaman kita sekarang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi akan hilang keheranan itu ketika kita sebutkan bahwa manusia di jaman kita sekarang ini telah hidup dengan adat barat yang jelek. Dan maklum bahwa masyarakat barat umumnya tidak mengenal makna aib, kehormatan dan tidak kenal kemuliaan, karena serba boleh (permisivisme), yang mengumbar hawa nafsu kebebasan. Maka orang-orang yang mengagumi akhlaq-akhlaq barat ini, tidak mau memperhatikan pada akhlaq Islam yang dibangun atas dasar penjagaan kehormatan, kemuliaan dan keutamaan.
Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-sifat yang jelek, yaitu Dayyuuts: Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir ; serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Amr , dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.
(Dikutip dari kitab Ushulul Mu’asyarotil Zaujiyah, Penulis: Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an, Edisi Indonesia “Tata Pergaulan Suami Istri Jilid I? Penerbit Maktabah Al-Jihad, Jogjakarta)
Disalin langsung dari situs www.darussalaf.or.id
Sumber: http://menikahsunnah.wordpress.com/cinta/
---------------------------------------------------------------
Rumah Tangga Ideal Adalah Rumah Tangga Yang Diliputi Sakinah, Mawaddah wa Rahmah.
Menurut ajaran Islam, rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang). Allah Ta’ala berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan saying. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS 30: 21)
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, harus tahu pula hak dan kewajiban, memahami tugas dan fungsinya masing-masing, melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas, serta mengharapkan ganjaran dan ridha dari Allah Ta’ala.
Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla dapat menjadi kenyataan. Akan tetapi, mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tenteram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” berupa perselisihan dan percekcokan.
Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, maka harus ada upaya ishlah (mendamaikan). Yang harus dilakukan pertama kali oleh suami dan istri adalah harus lebih dahulu saling introspeksi, menyadari kesalahan masing-masing, dan saling memaafkan, serta memohon kepada Allah agar disatukan hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepada-Nya, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangganya. Jika cara tersebut gagal, maka harus ada juru damai dari pihak keluarga suami maupun istri untuk mendamaikan keduanya. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada pasangan suami istri tersebut.
Apabila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, surat an-Nisaa’ ayat 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
Syaikh Mushthafa al-‘Adawi berkata, “Apabila masalah antara suami-istri semakin memanas, hendaknya keduanya saling memperbaiki urusan keduanya, berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk, dan meredam perselisihan antara keduanya, serta mengunci rapat-rapat setiap pintu perselisihan dan jangan menceritakannya kepada orang lain.
Apabila suami marah sementara istri ikut emosi, hendaklah keduanya berlindung kepada Allah, berwudhu’ dan shalat dua raka’at. Apabila keduanya sedang berdiri, hendaklah duduk; apabila keduanya sedang duduk, hendaklah berbaring, atau hendaklah salah seorang dari keduanya mencium, merangkul dan menyatakan alas an kepada yang lainnya. Apabila salah seorang berbuat salah, hendaknya yang lainnya segera memaafkannya karena mengharapkan wjah Allah semata.” (Fiqhut Ta’amul bainaz Zaujaini, hal. 37)
Di tempat lain beliau berkata, “Sedangkan berdamai adalah lebih baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala. Berdamai lebih baik bagi keduanya aripada berpisah dan bercerai. Berdamai lebih baik bagi anak daripada mereka terbengkalai (tidak terurus). Berdamai lebih baik daripada bercerai. Perceraian adalah rayuan iblis dan termasuk perbuatan Harut dan Marut.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka mereka mempelajari dari keduanya (Harut dan Marut) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka tidak dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah.” (QS 2: 102)
Dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas lautan. Kemudian ia mengirimkan bala-tentaranya. Tentara yang paling dekat kedudukannya dengan iblis adalah yang menimbulkan fitnah yang paling besar kepada manusia. Seorang dari mereka dating dan berkata, ‘Aku telah melakukan ini dan itu.’ Iblis menjawab, ‘Engkau belum melakukan apa-apa.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, ‘Lalu datanglah seorang dari mereka dan berkata, ‘Tidaklah aku meninggalkannya sehingga aku telah berhasil memisahkan ia (suami) dan istrinya.’ Beliau melanjtkan, ‘Lalu iblis mendekatkan kedudukannya. Iblis berkata, ‘Sebaik-baik pekerjaan adalah yang telah engkau lakukan.” (HR. Muslim no. 2813 [67])
Ini menunjukkan bahwa perceraian adalah perbuatan yang dicintai syaitan.
Apabila dikhawatirkan terjadinya perpecahan antara suami-istri, hendaklah hakim atau pemimpin mengirim dua orang juru damai. Satu dari pihak suami dan satu lagi dari pihak istri untuk mengadakan perdamaian antara keduanya. Apabila keduanya damai, maka Alhamdulillah. Namun apabila permasalahan terus berlanjut antara keduanya kepada jalan yang telah digariskan dan keduanya tidak mampu menegakkan batasan-batasan Allah (syari’at dan hukum-hukum-Nya) di antara keduanya, yaitu istri tak lagi mampu menunaikan hak suami yang disyari’atkan dan suami tidak mampu menunaikan hak istrinya, serta batas-batas Allah menjadi terabaikan di antara keduanya dan keduanya tidak mampu menegakkan ketaatan kepada Allah, maka ketika itu urusannya seperti yang Allah firmankan:
“Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunian-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya), Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 130)
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dank arena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (meninggalkan kewajibannya selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa seizing suaminya), hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar. Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufiq kepada suami-istri itu. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS 4: 34-35)
Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syari’at Islam, dan ini merupakan hak suami. Hukum thalaq (cerai) dalam syari’at Islam adalah dibolehkan.
Adapun hadits yang mengatakan bahwa, “Perkara halal yang dibenci Allah adalah thalaq (cerai)”, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2178), Ibnu Majah (no. 2018) dan al-Hakim (II/196) adalah hadits lemah. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Abi Hatim rahimahullah dalam kitabnya al-‘Ilal, dilemahkan juga oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 2040).
Meskipun thalaq (cerai) dibolehkan dalam ajaran Islam, akan tetapi seorang suami tidak boleh terlalu memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami akan menjatuhkan thalaq (cerai), ia harus berpikir tentang maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai membawa penyesalan yang panjang. Ia harus berpikir tentang dirinya, istrinya dan anak-anaknya, serta tanggung-jawabnya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla pada hari kiamat.
Kemudian bagi istri, bagaimana pun kemarahannya kepada suami, hendaknya ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada suaminya. Terkadang ada istri yang minta cerai disebabkan masalah kecil karena suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya. Hal ini tidak dibenarkan dalam agama Islam. Jika si istri masih terus menuntut cerai, maka haram atasnya aroma surge, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya surga.” (Hadits shahiah,. Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2226, at-Tirmidzi no. 1187, Ibnu Majah no. 2055, ad-Darimi II/162, Ibnul Jarud no. 748, Ibnu Hibban no. 1320, ath-Thabari dalam Tafsiir-nya no. 4843-4844, al-Hakim II/200, al-Baihaqi VII/316, dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang: ‘…dan janganlah seorang istri meminta (suaminya) untuk menceraikan saudara (madu)nya agar memperoleh nafkahnya.” (HR. Bukhari no. 2140, Muslim no. 1515 dan an-Nasa-I VII/258).
Dalam agama Islam dibolehkan poligami dan ini sama sekali bukan untuk menyakiti wanita atau berbuat zhalim kepada wanita, akan tetapi disyari’atkan untuk mengangkat derajat wanita dan menghormati mereka. Sebab poligami telah disyari’atkan oleh Allah Yang Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Setiap keluarga selalu mendambakan terwujudnya rumah tangga yang bahagia, diliputi sakinah, mawaddah wa rahmah. Oleh karena itu, setiap suami dan istri wajib nenunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan syari’at Islam dan bergaul dengan cara yang baik.
Kesimpulannya, wanita tidak boleh meminta cerai dari suaminya tanpa alasan syar’i. Kepada suami-istri, hendaknya selalu melaksanakan kewajiban yang Allah bebankan kepadanya, menjauhi apa-apa yang dilarang, dan selalu berdo’a kepada Allah agar dikaruniai pasangan dan keturunan yang shalih dan shalihah.
“…Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrata a’yuniw waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa.” (QS 25: 74)
Abu Muhammad Herman
(Dikutip dari buku “Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah”, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, Pustaka At-Taqwa)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar